Sabtu, 11 Juni 2011

ANALISIS KONFLIK INTERNASIONAL CHINA - TIBET

ANALISIS KONFLIK INTERNASIONAL
CHINA - TIBET

Berakhirnya salah satu episode dalam hubungan antar bangsa berupa Perang Dingin, melahirkan realitas baru dalam perhatian negara besar dan negara yang bekas komunis. Isu-isu utama yang menjadi pilar hubungan internasionalpun mengalami pergeseran. Meskipun isu lama yang menyangkut keamanan nasional dan pertentangan masih tetap berlanjut namun tak dipungkiri adanya perhatian baru dalam tata hubungan antar negara dan antar bangsa. Menurut Juwon, pada era pasca Perang Dingin, perhatian lebih difokuskan pada usaha memelihara persatuan  dan kesatuan bangsa menghadapi lingkungan internasional yang belum jelas.
Bilhari Kausikan  (1993), Direktur Biro Asia Timur dan Pasifik di Kemlu Singapura sudah meramalkan bahwa isu HAM telah menjadi isu yang legitimate dalam hubungan antar negara.  Ia menyatakan, bagaimana sebuah negara memperlakukan warga negaranya tak lagi masalah eksklusif sebuah negara.
Pihak lain dapat dan memiliki legitimasi mengklaim keprihatinan terhadapnya.“Kini sedang muncul budaya global HAM dan tubuh hukum internasional mengenai HAM perlahan berkembang terkodifikasi melalui Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM dan instrumen lainnya,” tulis Kausikan seraya menegaskan bahwa isu HAM tetap tidak akan menjadi isu utama dalam hubungan internasional.
Namun demikian, penekanan Barat terhadap HAM akan mempengaruhi nada dan tekstur hubungan internasional pasca Perang Dingin. Menurut Kausikan, isu-isu HAM menyangkut soal upah, kondisi bekerja, serikat buruh, standar hidup, hak-hak wanita dan anak-anak, hiburan dan waktu cuti, keamanan dan tunjangan sosial serta lingkungan.  Ia melihat telah terjadi pemaksaan dari Barat untuk menentukan standar HAM yang seharusnya dilaksanakan negara-negara di Asia misalnya.
Seperti halnya pertikaian yang terjadi antara China-Tibet. Beberapa bulan berselang, Tibet mencuat sebagai sorotan masyarakat internasional. Tibet yang dikenal mempunyai sejarah keunikan peradaban yang arif kembali menorehkan polemik yang cukup dramatis. Aksi para biksu Tibet dalam menggalang tuntutan terhadap China seakan mengulang kembali pemberontakan Tibet yang pernah bergolak di Tahun 1959. Sebagaimana yang telah santer diberitakan oleh berbagai media, sekurangnya 300 biarawan atau rahib berbaris di pusat kota Lhasa Tibet pada 10 Maret 2008 untuk menggelar aksi damai memperingati kegagalan pemerintah China menundukkan Tibet serta pengusiran Dalai Lama, Pemimpin Spiritual Buddha Tibet ke pengungsian di tahun 1959. Selain itu aksi tersebut juga menuntut dilepaskannya para rahib yang ditawan pada Oktober 2007. Gejolak terjadi karena pemerintahan China bereaksi keras dengan menahan antara 50 hingga 60 rahib. Aksi tersebut berbuntut panjang, demonstrasi dan aksi massa pun meluas. Beijing mempertahankan keyakinan bahwa Tibet secara historis merupakan bagian dari China. Sementara itu banyak orang Tibet yang menganggap bahwa wilayah Himalaya selama berabad-abad adalah wilayah merdeka.
Ratusan rakyat Tibet di pengasingan melakukan long march dari Dharamsala hingga perbatasan Tibet. Perjalanan panjang sebagai aksi protes dan menuntut kebebasan dari RRT ini dilakukan selama enam bulan hingga tiba di perbatasan Tibet bertepatan dengan pembukaan Olimpiade Beijing pada Agustus mendatang. Aksi ini ditujukan bertepatan dengan Olimpiade Beijing karena para demonstran ingin olimpiade mendatang tidak sekadar simbol belaka, namun pemerintah RRT dituntut bersikap terbuka, karena olimpiade menjunjung tinggi kebebasan berbicara dan persamaan. Dalai Lama mengatakan bahwa dunia internasional juga diharapkan tidak mengirimkan atlet semata tetapi juga membuka mata akan masalah-masalah yang terjadi di Tibet hingga sekarang ini. Long march yang juga peringatan 49 tahun pengasingan pemerintahan Tibet ini diklaim akan menjadi aksi protes terbesar semenjak pengasingan pada 1959, dan merupakan gerakan damai rakyat yang bisa disejajarkan dengan People Power di Filipina. Aksi yang dimulai oleh ratusan aktivis ini akan terus bertambah jumlahnya seiring perjalanan. Meskipun hampir tidak mungkin Beijing akan langsung memberikan kemerdekaan dan kebebasan kepada Tibet, namun diharapkan aksi ini dapat membuka mata dunia terhadap masalah Tibet dan memompa semangat rakyat Tibet untuk terus berjuang memperoleh kebebasan.
Logika konflik Tibet dengan Cina secara sederhana bisa dipahami dengan menempatkan diri di perspektif Cina yang mengangkat isu nasionalisme dan integritas serta kedaulatan negara, hal yang sama juga diangkat Beijing ketika berhadapan dengan Taiwan. Sedangkan di sisi Tibet, isu kemerdekaan dan kebebasan setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri itu yang menjadi pertaruhan utama mereka. Di sini, isu separatisme maupun hak asasi manusia menjadi pisau analisis utama melihat konflik ini.
Secara hitungan matematis seharusnya Cina bisa segera menyelesaikan isu separatisme ini dengan kekuatan militer maupun politik. Mengingat secara militer maupun politik, Tibet tidaklah sekuat Taiwan yang disokong persenjataan modern dari AS, secara sumber daya Tibet juga sangat kecil dibanding Taiwan. Tapi konstelasi politik internasional menentukan lain. Bargaining position Tibet di dunia internasional cukup banyak mendapat simpati dan dukungan secara global tidak lain karena keberadaan para biksu dan terutama Dalai Lama yang aktif menyerukan isu-isu hak asasi manusia dan kebebasan di tingkat regional maupun di forum-forum internasional. Dan segera Tibet menjadi salah satu isu internasional ketika pihak luar ikut menjadi variable yang menentukan dalam konflik China-Tibet.
Dalam perkembangannya, isu Tibet ternyata tidak mengembangkan isu-isu high politics seperti nasionalisme atau kemerdekaan minoritas, tapi berkembang sebagai sebuah isu hak asasi manusia, terutama pada dekade 1990-an, dekade dimana isu Tibet mulai mengglobal (John Roberts II & Elizabeth Roberts, 2009). Rekam jejak yang masih bisa kita ingat adalah bagaimana ketika tahun 1989, Dalai Lama naik ke podium di Oslo dan disemati anugerah Nobel Perdamaian. Imbasnya mengglobal, terutama di pihak Beijing yang langsung berang karena Dalai Lama sebelumnya aktif mengkritisi peristiwa Tiananmen. Mulai saat itu, Beijing sangat geram ketika pihak luar ikut berkomentar soal Tibet yang dianggap sebagai domain masalah domestik. Tapi bukannya semakin padam, kritisi terhadap Cina dan dukungan terhadap Tibet justru semakin mewacana di dunia internasional, apalagi ketika para sosialita Hollywood ikut angkat bicara. Richard Gere, Keanu Reeves, dan Goldie Hawn, merupakan beberapa simpatisan tersebut. Dengan adanya peran sentral Dalai Lama, para biksu kemudian penggunaan simbol-simbol agama dalam perlawanan Tibet.
Mencari akar permasalahan dalam konteks budaya maupun peradaban dalam konteks ini berarti kita harus melihat jauh ke belakang. Kontak politik antara Tibet dan Cina sudah dimulai sejak abad ke-7 Masehi (CE). Tibet saat itu sudah berdiri sebagai sebuah kerajaan di bawah pemerintahan Raja Songtsen Gampo. Sedangkan Cina saat itu berdiri dinasti Tang yang berkuasa antara tahun 618-907. Perselisihan politik yang pertama terjadi antara dua kerajaan adalah masalah perbatasan. Tibet sebagai sebuah kerajaan yang berkembang pesat mengembangkan wilayahnya sampai ke wilayah Cina sekarang seperti yang sekarang disebut sebagai Provinsi Xinjiang, kemudian Ladakh/Kashmir, serta Amdo dan Kham. Perselisihan ini berakhir melalui serangkaian perjanjian pada awal abad ke-9.
Posisi Tibet saat itu dengan Cina jelas setara, bukan subordinasi kekuatan Cina. Bahkan peradaban mereka bisa dikatakan lebih maju. Dan masa inilah pengaruh agama Budha mulai meluas dan dikembangkan dari India sebagai sebuah budaya sentral dalam masyarakat Tibet saat itu. Pusat peribadatan dan biksu Budha pertama juga dibangun saat itu di Samye, dekat Lhasa pada tahun 779 CE. Posisi politis berganti secara cepat ketika Kekaisaran Mongol menginvasi Cina dan juga Tibet. Kubhilai Khan menaklukkan Cina pada tahun 1279 dan mendirikan Dinasti Yuan. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi rujukan utama akademisi Cina bergabungnya untuk pertama kali Tibet sebagai bagian integral Cina. (Melvyb Goldstein, 1997). Setelah runtuhnya Dinasti Yuan, keadaan kembali normal, kekaisaran China yang dipimpin Dinasti Ming menjalin hubungan lagi dengan Tibet.
Dinamika berlanjut dengan kedatangan Imperialis Inggris ke wilayah India, dan akhirnya juga masuk ke wilayah Tibet akhir abad ke-19. The Anglo-Tibet Convention pada 1904 mulai membuka akses kekuasaan Inggris di wilayah Tibet, tapi juga membuka potensi konflik dengan Cina yang tidak mau menandatangani perjanjian tersebut. Beruntung bagi Cina, Ingris tidak berniat menjadikan Tibet sebagai daerah pendudukan resminya, sehingga pada tahun 1906 timbul Anglo-Chinese Convention yang member legitimasi Cina yang saat itu dipimpin Dinasti  Qing untuk berkuasa penuh di Tibet. Tahun 1991, Tibet diproklamasikan sebagai republik merdeka setelah sekian lama diperebutkan oleh Inggris dan China. Tahun 1935, calon Dalai Lama ke-14 lahir dari keluarga petani di desa di timur laut Tibet. Dua tahun kemudian, petinggi keagamaan Budha mengumumkannya sebagai reinkarnasi ke-13 Dalai Lama sebelumnya.
Tahun 1949, Mao Zong memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China, mengancam kemerdekaan Tibet. Tahun 1950, China menyerbu Tibet Timur. Dalai Lama ( 15 tahun) menjadi kepala Negara. Tahun 1951, Pemimpin Tibet dan penghormatan terhadap agama Budha, tapi mensyaratkan berdirinya pemerintahan sipil dan markas militer China di Tibet. Pertengahan 1950-an, ketidakpuasan terhadap pendudukan China menimbulkan pecahnya perlawanan bersenjata. Tahun 1954, Dalai Lama mengunjungi Beijing untuk berunding dengan Mao, tetapi China enggan memenuhi ketujuh belas kesepakatan. Maret 1959, pemberontakan pecah di Lasha. Seribu orang dikabarkan tewas. Dalai Lama dan para menterinya mengungsi ke India Utara, diikuti 80.000 warga Tibet. 1963, orang asing dilarang masuk ke Tibet. 1965, pemerintah China mendirikan Otonomi Tibet. 1966, Revolusi budaya China mencapai Tibet. Banyak artefak dan biara dirusak. 1971, orang asing dilarang masuk Tibet. Akhir tahun 1970-an, akhir revolusi budaya. Transmigrasi bangsa Han China ke Tibet berlangsung. 1980-an, China menerapkan kebijakan reformasi ” Pintu Terbuka ”, menarik investasi namun menolak otonomi lebih luas untuk Tibet. 1987, Dalai Lama menyerukan dibentuknya Tibet sebagai zona damai dan terus mengupayakan dialog dengan China., untuk mencapai pemerintah mandiri yang sejati di bawah China. 1988, China menerapkan hukum darurat setelah pecahnya kerusuhan, Dalai Lama dianugerahi Nobel Perdamaian. 1993, Perundingan antara China dan Dalai Lama menunjuk anak usia 6 tahun, Gedhum Choekyi Nyima, sebagai reinkarnasi Panchen Lama, tokoh terpenting ke-2 dalam Buddhisme Tibet. Aparat China menahan anak ini dan mengangkat anak yang lain, Gyancain Norbu, sebagai Panchen Lama. 2002, kontak antara Dalai Lama dan Beijing dilanjutkan. Juli 2006, rel kereta api yang menghubungkan Lasha dan Golmut (China) diresmikan. China menyanjungnya sebagai pencapaian teknologi, tapi kritik mengkhawatirkan meningkatnya arus warga Han China Tibet dan tergerusnya budaya Tibet. November 2007, Dalai Lama mengisyaratkan memutuskan tradisi berabad-abad untuk menunjuk penggantinya, ia menyatakan rakyat Tibet harus berperan. Desember 2007, rekor tertinggi kunjungan wisatawan ke Tibet, naik 64% dari rata-rata tahunan sebanyak 4 juta orang.
Bagi sebagian pemimpin Tibet di pengasingan, mereka tidak melihat Tibet mengalami kemajuan selama beberapa dekade selama beberapa dekade berada di bawah kekuasaan China. Pemerintah pusat China tidak adil dalam tata kelola pemerintahan. Beijing mengatur kebijakan migrasi ke Tibet bagi warga etnis Han China. Banyak etnis Tibet mengeluhkan, mereka semakin kehilangan budaya asli mereka. Lebih buruk lagi, mereka juga kurang diberi kesempatan kerja, akses pendidikan, kesehatan yan layak sebagai dampak dari gelombang migrasi etnis Han ke Tibet. Untuk itu, mereka mendorong gerakan prokemerdekaan seutuhnya. Bahwa tujuan sebenarnya yang ingin dicapai rakyat Tibet adalah kemerdekaan penuh.
Peradaban Budhisme Tibet masih sangat kental nuansa religinya dan menjadi salah satu antithesis peradaban barat, maupun peradaban Cina Modern yang menjadikan pencapaian produktivitas materiil sebagai tujuan utamanya.  Pencapaian religious bagi masyarakat Tibet mempunyai arti yang begitu penting.
Dalam konteks sekarang peran para biksu menjadi sangat sentral dalam konteks Tibet. Belum lagi jika kita menyebut figur Dalai Lama yang banyak mendapat simpati dunia barat. Tak diragukan lagi, Dalai Lama merupakan sosok dari Timur yang dikagumi oleh dunia barat, dan Dalai Lama tahu benar hal itu, sehingga seringkali melakukan manuver-manuver diplomatis ke negara-negara Eropa maupun Amerika Serikat, dan tak lupa berbagi kebijaksanaan dengan para akademisi di Stanford, MIT, Princeton, maupun Harvard. Hal yang tentunya membuat Beijing semakin panas kupingnya karena publikasi dan sorotan media massa internasional sangat besar.
Sangat disayangkan, pemerintah China menggunakan cara kekerasan dalam mengatasi krisis Tibet ini. Inilah yang kemudian mengundang kritik keras dari komunitas internasional. Tekanan internasional kepada China terus meningkat. Menteri Luar Negeri AS mengimbau Beijing untuk membuka pembicaraan dengan Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet yang kini dalam pengasingan di Dharamsala, India. Seorang pejabat tinggi Inggris mengatakan,  China telah mengambil tindakan berisiko dengan merusak citranya sebagai tuan rumah Olimpiade di Beijing kalau masalah di Tibet memuncak. Namun, Rusia berharap China akan melakukan apa yang diperlukan untuk mengurangi tindakan melanggar hukum.
Dalai Lama tetap menekankan perdamaian dalam menyelesaikan masalah Tibet. Sudah seharusnya China menangkapnya sebagi upaya positif untuk memulai suatu dialog dengan pemimpin spiritual itu. Memang, belum terlihat peran sentral dari komunitas internasional untuk turut menengahi konflik China-Tibet. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lewat Sekjen Ban Ki-Moon, hanya sebatas memberikan seruan agar aksi kekerasan di sana dihentikan. Sementara Negara besar seperti AS pun sama. Melalui Menlu, AS hanya meminta China lebih menahan diri untuk tidak menggunakan pendekatan kekerasan di wilayah religius itu.
Beijing bersedia berdialog dengan para pemimpin Tibet. Namun, opsi pemisahan diri dari China menjadi hal yang haram untuk didiskusikan. Jalan tengah yang ditawarkan Dalai Lama adalah Tibet tetap menjadi bagian dari China, namun dengan otonomi yang lebih luas dari sebelumnya. Seiring dengan usulan Dalai Lama, muncul beberapa model sistem otonomi yang mungkin saja bisa dipraktekan di Tibet.  Model pemerintah dengan sistem “ satu Negara dua sistem “ ala Hong Kong bisa dijadikan pertimbangan. Ada juga usulan kompromistis yaitu otonomi luas yang pernah disepakati China dan Tibet pada periode 1951 hingga 1959.
Jika benar-benar merdeka, Tibet diprediksi akan mengalami banyak kesulitan di bidang ekonomi. Namun Tibet berpendapat bahwa untuk saat ini, pertumbuhan ekonomi di Tibet hanya menguntungkan warga etnis China. Jika Tibet bebas, Tibet akan mampu tumbuh secara mandiri. Tibet yang merdeka juga berada di posisi yang rentan konflik politik dengan Negara-negara tetangga. Pasalnya, wilayah ini terletak di antara dua Negara “raksasa” Asia, yaitu China dan India. Pada akhirnya, Tibet hanya menginginkan otonomi lebih luas, bukan kemerdekaan penuh. Yang terpenting adalah semua warga Tibet dapat hidup bahagia
Setelah mencermati gerakan rakyat yang dipimpin Dalai Lama dengan jalan perdamaian sendiri, mengindikasikan bahwa penyelesaian masalah-masalah tidak selalu dengan jalan fisik atau perang. Perang, dalam hal ini diletakkan pada pilihan terakhir di mana ketika semua jalan telah tertutup. Sebagai seorang pemimpin, Dalai Lama tentu saja berkeinginan melindungi rakyatnya dari pertumpahan darah, namun ia juga pasti menginginkan kebebasan dan penghapusan pelanggaran HAM untuk Tibet. Tapi saya melihat Dalai Lama sendiri mencoret pilihan perang dalam gerakan perlawanannya, entah pilihannya ini akan menimbulkan dampak positif pada masa depan Tibet atau malah tetap membuat status Tibet seperti sekarang ini. Dalam skala nasional sendiri, aksi damai bisa membawa perubahan, saya ambil contoh saja People Power di Filipina yang berjalan damai dan mampu melengserkan Marcos dan Estrada. Namun tentunya dalam skala internasional tidak semudah itu. Permainan kepentingan telah menjadi milik banyak pihak, tidak hanya RRC dan Tibet sendiri. Secara tidak langsung tentu saja akan mempengaruhi banyak hal, dan ada pendapat bahwa aksi damai sulit memimbulkan perubahan besar seperti kemerdekaan, karena banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya. Meskipun begitu, menurut saya aksi-aksi damai yang menjadi sorotan dunia internasional juga bisa menjadi senjata ampuh, di mana dunia internasional dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah RRC meskipun tidak secara langsung, dan Cina harusnya mulai berpikir dan tidak mengabaikan sorotan dari dunia Internasional. Dan saya dapat berkesimpulan dan berpendapat bahwa untuk penyelesaian Cina dengan Tibet adalah dengan melakukan perundingan bersama, seperti ketika RRC terpaksa melakukan reformasi Pintu Terbuka terhadap penyelesaian masalah Tibet.

Oleh : Rany Ayu Wardani (Hubungan Internasional-Universitas Brawijaya)

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates